
Mendikdasmen Ajak Kolaborasi Membangun Kerukunan Lintas Agama dan Budaya Berbasis Pendidikan
- Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu’ti, membuka secara resmi Konferensi Internasional Literasi Keagamaan Lintas Budaya (International Conference on Cross-Cultural Religious Literacy/ICCCRL) dengan tema “Education and Social Trust in Multifaith and Multicultural Societies”, di Jakarta, Selasa (11/11).
Jakarta, RADARIKN -- Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) bersama Institut Leimena menyelenggarakan Konferensi Internasional Literasi Keagamaan Lintas Budaya (International Conference on Cross-Cultural Religious Literacy/ICCCRL) untuk menegaskan pentingnya pendidikan dalam memperkuat rasa saling percaya di tengah masyarakat majemuk. Mengusung tema “Education and Social Trust in Multifaith and Multicultural Societies”, konferensi ini mengundang para pemangku kepentingan dari dalam dan luar negeri untuk berbagi pengalaman dan gagasan mengenai penguatan kohesi sosial.
Konferensi secara resmi dibuka oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu’ti. Dalam sambutannya, ia menyampaikan optimisme bahwa kerukunan antaragama dan antarbudaya dapat terwujud bila masyarakat memiliki kesiapan membuka hati dan pikiran untuk siapapun serta saling bekerja sama.
“Kepercayaan ini bisa semakin kita tingkatkan seiring dengan komitmen kita untuk memberikan bekal kepada generasi muda agar mereka semakin percaya diri untuk melintas batas interaksi sosial dan budaya. Ini pesan penting agar kita memberikan perhatian kepada generasi muda sebagai insan-insan yang akan memimpin dunia di masa yang akan datang,” ucap Mendikdasmen di Jakarta, Selasa (11/11).
Dalam kaitan inilah Kemendikdasmen berusaha untuk memberikan landasan pedagogis dan keputusan strategis agar generasi Indonesia di masa depan memiliki keterampilan-keterampilan sosial yang memungkinkan mereka menjalin persahabatan, melalui keberanian dan rasa percaya diri untuk saling bekerja sama.
Lebih lanjut, Mendikdasmen menjelaskan bahwa Kemendikdasmen telah memprioritaskan sejumlah langkah strategis untuk membentuk karakter generasi muda yang terbuka dan siap bekerja sama. Tiga di antaranya yaitu: penerapan pembelajaran mendalam (deep learning) di ruang kelas; program 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat yang mendorong mereka memiliki aktivitas-aktivitas sosial dengan berolahraga dan bermasyarakat; serta penguatan program konseling di sekolah dan keluarga untuk menumbuhkan komunikasi yang sehat antara orang tua dan anak.
“Forum ini menjadi penting di mana kita tidak hanya mencoba untuk mengkaji berbagai hal secara teoritis, tapi ke depan kita harus bersama-sama membangun sebuah gerakan yang berbasis pendidikan, baik di sekolah, keluarga, dan masyarakat, agar kehidupan di masyarakat tercipta dalam suasana rukun dan harmonis,” tambahnya.
Executive Director Institut Leimena, Matius Ho, menyampaikan bahwa kemampuan untuk berkolaborasi dengan yang berbeda agama dan keyakinan sangat berpengaruh terhadap rasa saling percaya dalam masyarakat. Hal tersebut sejalan dengan rekomendasi UNESCO tahun 2021 bahwa untuk menghadapi dunia yang saat ini terpolarisasi, pendidikan di masa depan perlu pedagogi yang memperkuat kerja sama dan solidaritas.
“Semoga konferensi ini dapat mendorong kita untuk berbagi pengalaman serta membangun sinergi untuk memperkuat masyarakat majemuk yang inklusif dan kohesif, baik di negara kita masing-masing, di kawasan regional ASEAN, dan lebih luas,” ujar Matius.
Chief Grants Officer Templeton Religion Trust, Christopher Stewart, menyoroti bagaimana kerja sama antara Institut Leimena dan pemerintah Indonesia telah menginspirasi negara-negara ASEAN untuk mempertimbangkan adaptasi program literasi keagamaan lintas budaya di negara masing-masing. Menurutnya, pendekatan tersebut memiliki potensi besar dalam mengurangi ketegangan, menyelesaikan konflik, serta mencegah ekstremisme.
“Sebagaimana ASEAN menegaskan dalam visi 20 tahun ke depan untuk membangun kawasan yang lebih tangguh, inovatif, dinamis, dan berorientasi pada manusia, literasi keagamaan lintas budaya merupakan pendekatan yang dirancang dengan baik untuk membangun masyarakat yang lebih inklusif dan kohesif secara sosial, yang berdiri di atas penghormatan terhadap perbedaan politik, sosial, agama, budaya, dan etnis,” ungkap Stewart.
Sementara itu, Director International Center for Law and Religion Studies, Brigham Young University Law School, Brett Scharffs, menjelaskan bahwa literasi keagamaan lintas budaya telah berkembang jauh melampaui sekadar program pelatihan bagi guru di Indonesia. Program ini telah diakui secara global sebagai model keterlibatan yang jauh lebih mendalam. Pendekatan ini membangun kepercayaan sosial melalui upaya kolaborasi dan keterlibatan yang bermakna di antara komunitas yang penuh keragaman.
“Model ini menunjukkan pendekatan nyata yang menghasilkan kerja sama yang bermakna antar komunitas yang berbeda. Harapannya, nilai-nilai model ini dapat terus diperluas, tidak hanya di Indonesia dan ASEAN, tetapi ke berbagai belahan dunia,” ujarnya.
“Hal utama yang ingin saya tekankan adalah betapa signifikannya literasi keagamaan lintas budaya yang dikembangkan di Indonesia, yang kini telah mendapat pengakuan luas. Literasi keagamaan lintas budaya adalah model pendidikan dan kerja sama antaragama yang benar-benar efektif. Harapan saya, salah satu hasil dari konferensi ini adalah agar visi dan nilai-nilainya terus diperluas, tidak hanya di Indonesia dan kawasan ASEAN, tetapi juga ke berbagai belahan dunia,” ujar Brett.
Konferensi internasional ini dihadiri lebih dari 200 peserta dari 20 negara, termasuk Austria, Denmark, Jepang, Uni Emirat Arab, Amerika Serikat, Swiss, Inggris, serta negara-negara Asia Tenggara. Para peserta terdiri dari unsur pemerintahan, akademisi, pemuka agama, pimpinan lembaga internasional, dan para guru alumni program LKLB dari berbagai provinsi di Indonesia.
Melalui konferensi ini, Kemendikdasmen bersama Institut Leimena menegaskan komitmen untuk memperkuat pendidikan yang menumbuhkan rasa saling percaya, menghargai keberagaman, serta membangun masyarakat Indonesia dan dunia yang rukun, inklusif, dan berkeadaban. Pendidikan diharapkan menjadi jembatan utama yang mendekatkan perbedaan, bukan memisahkan.

Leave a Comment