Prof Djohermansyah: MK Hanya Fokus Pada Sengketa Hasil Penghitungan Suara

radarikn.id
  • Prof Djohermansyah
  • Jumat, 29 Januari 2021 - 16:02 WIB | Deka

Jakarta, GPSIndonesia -- Mahkamah Konstitusi (MK) menerima gugatan perselisihan hasil Pilkada 2020 baik gubernur, bupati dan wali kota, secara langsung maupun daring, dan ada permohonan juga dari Kabupaten Gorontalo, Sumatera Barat, dan Medan.

Pakar Otonomi Daerah, Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, MA mengatakan, bahwa berdasarkan aturan undang-undang pilkada, perselisihan hasil pemilihan diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus. Sebelum badan itu terbentuk, MK melaksanakan fungsi peradilan itu. MK seyogianya hanya memeriksa dan mengadili tahap akhir hasil  penghitungan suara, tidak  masuk ke materi yang terkait dengan perkara-perkara diluar penghitungan suara.

"Dibuatnya pengaturan itu karena ada masalah di MK, yaitu  luasnya materi perkara yang diadili terkenal istilahTSM (terstruktur, sistimatis, dan masif). Kemudian terjadi upaya menyuap hakim MK supaya orang bisa memenangkan perkara. Terbukti dengan tertangkapnya Ketua MK Aqil Muchtar oleh KPK," ujar Prof Djo, sapaan akrabnya jumat (29/1/2020).

Ada beberapa daerah, lanjut Presiden i-Otda (Institut Otonomi Daerah), yang kasus-kasus pilkadanya dimenangkan lewat palu hakim MK, padahal selisih suaranya sudah jauh sekali. Maka, untuk mencegah itu dibuat pengaturan, belajar dari pengalaman di negara-negara yang sudah maju pelaksanaan pemilihannya.

"Apa pengalamannya?  Dalam kontestasi ada orang yang kalahnya sedikit, kalah tipis namanya (close to call). Kemungkinan ada persoalan-persoalan teknis seperti salah hitung dalam perhitungan yang dilakukan oleh KPU dan jajarannya. Maka, boleh digugat KPU nya. Tapi MK tidak lagi masuk menyelesaikan perkara terkait politik uang, mahar politik, dan pelibatan birokrasi dalam pilkada. Itu ranahnya pengadilan umum. MK waktu itu  menyatakan tobat untuk mengadili perkara-perkara pilkada di mana kalau tidak salah ada statemen pimpinan MK yang menegaskan, bahwa kami tidak lagi bersedia mengadili perkara-perkara pilkada," paparnya.

Lalu, terangnya, pemerintah dan DPR sepakat untuk membuat badan peradilan khusus terkait perselisihan hasil pilkada yang sayangnya sudah hampir 5 tahun belum kunjung terbentuk. "Sekarang yang menjadi pertanyaan, kok kambuh lagi MK. Perkara perkara yang bukan perselisihan hasil pemilihan atau hasil penghitungan juga mau diadili. Rupanya ada peraturan MK yang semacam menganulir UU Pilkada No 10/2016 pasal 157 dan 158 terkait selisih perolehan suara.

"MK bisa masuk ke materi perkara tidak hanya soal hasil penghitungan. Akibatnya perkara jadi membengkak, ada 136 pemohon masuk ke MK. Yang digugat KPU, tapi si pemenang sebagai pihak terkait bakal kerepotan, padahal ada yang  menang besar  sampai selisih suaranya 60 an persen. Persidangan MK akan memakan waktu pula, sehingga untuk kepala daerah yang berakhir masa jabatannya pemerintah harus menyiapkan penjabat kepala daerah sampai perkara di MK selesai dan dilaksanakan pelantikan," jelasnya.

Kedua, ungkapnya, ada potensi kemungkinan orang yang telah menang, bisa kalah oleh palu hakim MK. Bila terjadi, ini sangat besar risikonya. Pemerintah akan sulit melantik Kepala Daerah yang menang di MK itu. Para pendukung pihak yang dikalahkan oleh MK bakal mengamuk. "Selain itu, bisa timbul kasus yang dulu lagi yaitu  penyuapan hakim, yang penting menang," kata Pj Gubernur Riau 2013-2014 ini.

Kemudian, katanya, biaya kandidat bertambah meningkat karena harus menyewa lawyer-lawyer. "Kita maunya biaya calon yabg maju pilkada ini makin murah, supaya jangan timbul kasus korupsi kepala daerah. Sekarang kandidat harus mengeluarkan tambahan biaya lagi untuk berperkara di MK," sebut Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri periode 2010-2014 ini.

Seperti dilansir tempo, permohonan perselisihan hasil Pilkada 2020 yang memenuhi syarat ambang batas 0,5 hingga 2 persen diperkirakan hanya 25 permohonan dari total 136 permohonan yang didaftarkan ke Mahkamah Konstitusi.

"Dari 136 permohonan yang masuk ke MK dan juga 116 daerah, ada 25 permohonan yang memang memenuhi ambang batas sebagaimana ditentukan oleh Pasal 158 UU Pilkada," tutur peneliti lembaga riset Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif Muhammad Ihsan Maulana dalam diskusi daring di Jakarta, Kamis 7 Januari 2020.

Ihsan Maulana mengatakan untuk pemilihan gubernur, dari enam daerah dengan tujuh permohonan, terdapat dua permohonan yang dipastikan lolos ambang batas, yakni pemilihan gubernur Jambi dan Kalimantan Selatan.

Untuk pemilihan bupati, dari 96 daerah yang hasil pemilihannya disengketakan ke Mahkamah Konstitusi, hanya sebanyak 22 daerah yang disebut masuk ambang batas.

Daerah-daerah tersebut adalah Karimun, Sumba Barat, Indragiri Hulu, Nabire, Mandailing Natal, Kotabaru, Sumbawa, Labuhanbatu, Labuhanbatu Selatan, Solok dan Panukal Abab Lematang Ilir.

Selanjutnya Tasikmalaya, Tojo Una-Una, Morowali Utara, Rokan Hulu, Malaka, Rembang, Sekadau, Purworejo, Konawe Selatan, Teluk Wondama dan Lingga.

Sementara untuk pemilihan wali kota, Ihsan Maulana menuturkan hanya sengketa hasil pemilihan daerah Ternate yang masuk ambang batas dari 14 permohonan yang diterima Mahkamah Konstitusi.

Meskipun hanya 25 daerah yang permohonannya memenuhi ambang batas dalam sengketa pilkada, ia menekankan permohonan lain tidak serta merta tidak akan diterima Mahkamah Konstitusi karena lembaga itu menggeser ambang batas dari syarat formal menjadi pokok materi.

Untuk itu, permohonan yang tidak memenuhi ambang batas tidak langsung tidak dipertimbangkan, melainkan akan tetap diperiksa pokok permohonannya.

Leave a Comment