Legitimasi dan Kepercayaan Publik

radarikn.id
  • Ilustrasi (Foto: Net)
  • Rabu, 26 Juli 2023 - 14:30 WIB | Azkayra

RADARIKN -- "Kelangan bondo iku ora kelangan opo opo, Kelangan nyowo agi kelangan separo, Kelangan kapercayan kelangan sakkabehane "

Makna dari pepatah Jawa di atas adalah kehilangan harta benda itu tidak kehilangan apa apa, Kehilangan nyawa itu baru kehilangan setengah, Kehilangan kepercayaan itu kehilangan segalanya

Polisi dalam menyelenggarakan tugas dasar kekuatannya adalah legitimasi dan kepercayaan publik. Legitimasi dapat dipahami sebagai dukungan atau pengakuan atas kinerja aparat yang diyakini kebenaran dan manfaatya bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat. Legitimasi ini sangat penting bagi kesuksesan dan keberhasilan pelaksanaan tugas. Legitimasi juga merupakan bentuk kepercayaan.  

Hakikat legitimasi adalah kepercayan yang diperoleh dari kinerja yang profesional, cerdas, inovatif, kreatif, tulus, jujur, terbuka, tanpa rekayasa, tidak melakukan diskriminasi, dan tidak melakukan kebohongan publik. Apa yang ditampilan menunjukan adanya kepekaan dan kepedulian, bukan pamrih dan untung rugi, bukan bargaining atas sesuatu demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. 

Apakah para aparat sudah mempunyai spirit seperti itu? Apakah justru sebaliknya, mencari peluang untuk mencari kesempatan dalam kesempitan, maju takgentar membela yang bayar?

Selama aparat masih bermain-main dengan rasa keadilan masyarakat, cepat atau lambat legitimasi ini akan memudar. Saat tidak mendapat legitimasi, kondisinya dapat diibaratkan lampu yang menyala tanpa sinar. Dia pudar dan tidak ada manfaatmya. Semua akan sia-sia belaka. 

Pada saat mendapat kepercayaan, legitimasi juga tinggi dan mendapatkan dukungan, pengakuan, bahkan pujian. Sebagai contoh, pada saat penangkapan gembong teroris Dr Asahari dan Nurdin M Top, walaupun ada korban meninggal dunia, rusak rumah dan lingkungan warga, dukungan, pengakuan, pujian, bahkan bantuan dari dalam dan luar negari datang bertubi tubi.

Sebaliknya, tatkala melakukan kesalahan atau lambat dalam kinerja hujatan pun datang bagai air bah yang mengalir ke mana-mana, sampai individu dan keluarganya pun kena imbas.

Kemajuan suatu bangsa, antara lain, dilihat dari tingginya legitimasi dan kepercaan publik kepada aparatnya. Artinya, kinerja aparatnya profesional, cerdas, transparan, akuntabel, modern. Produknya secara signifikan dirasakan oleh masyarakat.

Perlu juga dipahami bahwa legitimasi adalah produk dari pemimpin dan kepemimpin. Seorang pemimpin yang mendapatkan legitimasi baik secara internal maupun eksternal akan sangat menentukan kemajuan dan tingkat legitamasi dan kepercayaan publik. 

Mengapa demikian? Seorang pemimpin adalah role model bagi anak buah atau bawahanya. Pada saat seorang pemimpin mampu menjadi demikian, dapat dipastikan standar dasar bagi seorang pemimpin sudah terpenuhi. Oleh karena itu, seorang pemimpin haruslah cerdas, profesional, bijaksana, ispirator, dan motivator bagi anak buahnya. Dengan demikian, anak buah  memberikan legitimasi bukan semata mata karena surat perintahnya saja namun juga dari kinerja, kepekaan, dan kepeduliannya.

Penguat dari standar kompetensi bagi pemimpin maupun aparat adalah legitimasinya. Pemimpin dan aparat yang legitimate akan membawa dampak pada kemaslahatan, berkah, dan menjauhkan musibah, demikian juga sebaliknya tatkala tidak legitimate maka akan membawa musibah. 

Membangun kepercayaan masyarakat sering dimaknai dalam banyak kalimat-kalimat manis dan penuh janji. Apa yang diomongkan sering sebatas jargon, yang sebenarnya tidak manjur, karena apa yang diomongkan tidak sesuai yang dilakukan.

Membangun kepercayaan masyarakat dapat dianalogikan seorang pria yang berupaya mendekati kekasih hatinya. Apa yang si pria lakukan? ia akan berusaha menunjukkan cintanya melalui pikiran perkataan dan perbuatannya yang terbaik bagi kekasih hatinya dan orang-orang  terdekatnya atau siapa saja yang bisa mendukungnya.

Dimulai dari ngobrol diteras rumah masuk ke ruang tamu, masuk ke ruang keluarga sampai diijinkan menginap dan bahkan mengawininya. Landasan pertamanya adalah cinta, ketertarikan, dan berniat dengan tulus menggapai apa yang dicintainya. Bermakna rela dan berani berkorban, berupaya memberikan yang terbaik.  Dari berbincang-bincang, menggandeng tangan, berpelukan dan sampai beranak pinak.

Konteks di atas menunjukkan bahwa dirinya diterima, dipercaya melakukan apa saja dari yang bersifat umum hingga pribadi diijinkan bahkan didukung dan difasilitasi.

Bagaimana dengan para birokrat dan aparaturnya dalam membangun kepercayaan masyarakat? Secara umum memang dibangun namun kadang hanya kulit-kulitnya, sebatas melaksnakan perintah ndoronya. Isi hatinya, tidak ada ketulusan, tidak ada rasa cinta, tidak ada rasa kebanggaan, tidak ada kemauan atau keberanian berkorban, apa yang diomongkan berbeda bahkan bertentangan dengan yang dilakukan.

Apa yang dilakukan tak jarang malah menabur kebencian, memprovokasi, menyakiti hati sehingga panggang jauh dari api.

Membangun kepercayaan kepada masyarakat dapat dimulai dari: Mencintai dan bangga akan pekerjaanya, Core valuenya adalah pada nilai-nilai kemanusiaan. Keteraturan sosial dan peradaban, yang peka peduli dan mau berbela rasa, serta bangga pada keutamaannya. Memiliki integritas, apa yang dipikirkan, diucapkan dan dilakukan sejalan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Senantiasa memberikan yang terbaik dalam pekerjaanya secara : profesional, cerdas, bermoral dan modern. Produk kinerjanya diterima, diakui dan didukung masyarakat, karena dapat dipertanggungjawabkan secara : moral, hukum, administratif, fungsional maupun secara sosial. Mampu menjadi ikon karena mental moral dan profesional yang ditunjukan. Tidak melakukan penyimpangan, tidak menerima suap maupun memeras, tidak bermain main dengan hal hal yang ilegal, tegas namun humanis, berjiwa penolong. Kesemua itu akan  berdampak terhadap adanya percayaan masyarakat.

Institusi-institusi modern menjalankan program-program mereka dengan baik dan benar agar menjadi unggul dan terdepan. Kinerjanya dan spirit kreatifitas menjadikan institusinya inspirator luar biasa dalam bersaing dengan kompetitor manapun. Mereka sadar, kalau tidak mampu bersaing merek akan gulung tikar, karena ditinggalkan dan bahkan dilupakan.

Institusi kepolisian bukanlah profit oriented tetapi service oriented dan tidak boleh merasa di zona nyaman karena perubahan begitu cepat dan permasalahan yang dihadapi juga semakin kompleks. Perilaku organisasinya dituntut profesional, cerdas, bermoral dan modern. 

Tatkala cenderung arogan, tidak transparan, otoriter, berpotensi KKN, core valuenya berbeda bahkan bertentangan dengan keutamaannya kebangkrutannya ada di depan mata, yaitu tidak mendapatkan legitimasi dan kepercayaan dari publik. Apapun yang dilakukannya akan terus menjadi sorotan. Apabila tidak mampu menunjukan perubahan yang secara signifikan dalam pemolisiannya yang bermanfaat bagi masyarakat, akan terus menjadi bulan bulanan.

Disrupsi dalam pemolisian ditunjukan dari : Political will yang kuat membangun birokrasi yang rasional, Memberantas mafia birokrasi. Komitmen dan integritas para pemimpin di semua level. Keteladanan dari para pemimpin di semua level. Penanaman dan keyakianan core value sebagai anggota polisi dari pangkat terendah sampai dengan tertinggi bahwa polisi sebagai kumpulan orang baik yang bertugas sebagai penjaga kehidupan, pembangun peradaban, dan pejuang kemanusiaan. Melakukan perubahan mind set the police officers melalui pendidikan dan pelatihan di semua lini. Membuat konsep yang komprehensif bagi penyelenggaraan tugas kepolisian agar mampu belajar dan memperbaiki masa lalu, siap menghadapi masa kini, dan meyiapkan masa depan. Secara konsisten dan konsekuen menerapkan program yang dibuat dengan sistem proaktif dan problem solving yang terpadu dan berkesinambungan. Menerapkan sistem yang cepat, tepat akurat, akuntabel, transparan, dan informatif. Membangun dan menerapkan program pembinaan dan operasional yang berdasrkan kompetensi, transformasi, dan edukasi. dan Membangun jejaring dan kemitraan serta pencitraan.

Banyak program dan strategi yang telah dicanangkan. Sayangnya, semua terkesan seremonial, supervisial (penuh kepura-puraan), parsial, temporer dan terkadang sekedar asal ndoro senang. Ini penyakit yang berakar pada buruknya citra dan rendahnya kepercayaan. 

Lagi-lagi kekunoan inilah yang akan menjadikan plesetan, parodi, dan bahan bulan-bulanan. Di era digital, post truth akan merajalela dengan berbagai model hoaxnya, plintiran dengan memanipulasi sesuatu dengan menambahkan, mengurangi, merubah,dsb. Pembenaran yang dianggap sebagai kebenaran berdampak Salah persepsi, Fitnah, Mengadu domba, Saling menyahkan dan mencari kesalahan, Menghakimi secara sosial, Rusaknya solidaritas sosial, Merusak citra bangsa, Potensi terjadinya konflik sosial, Core value yang ideal berbeda bahkan bertentangan dengan yang aktual, dan Memudar bahkan hilangnya kepercayaan publik

Mewujudkan mimpi menjadi kenyataan merupakan suatu kerja keras, kerja cerdas dan proses panjang. Menyatukan segala ide, kekuatan, massa pendukung dan jejaring pada waktu yang tepat, dengan komunikasi yang mampu menjadikannya harmoni dan solid sehingga meyakinkan  dan mendapat legitimasi maupun kepercayaan publik.

Cdl

Prof. Dr. Chryshnanda Dwilaksana, M.Si.

Fajar Bumi 260723

Baca Juga :

Digital Leadership: Jago Sosial?
  • Senin, 17 Juni 2024 - 12:25 WIB
Mengapa Digital Leadership Harus Disiapkan?
  • Jumat, 14 Juni 2024 - 20:50 WIB
Media Policing
  • Selasa, 11 Juni 2024 - 07:55 WIB

Leave a Comment