Sabda Pandita Ratu Pak Bos MG

radarikn.id
  • Mengenang 7 hari Wafatnya Pak Bos MG. Suasana duka saat pemakaman Bapak H. Margiono di TPU Jelumpang, Serpong (1/2/22)
  • Selasa, 08 Februari 2022 - 01:05 WIB | Oleh: Siswo Hadi

Ketika ada telepon penting dari orang penting di Jakarta, saya sedang pergi. Ketika tiba di rumah, teman-teman yang ngenger di rumah Pak Margiono di Surabaya, Jawa Timur, menjelaskan perihal isi pesan dari Pak Bos MG.

”Sis, koen dikongkon neng Jakarta,” kata seorang di antara mereka. 
Saat itu saya baru selesai menyelesaikan tugas di Kalimantan Timur, yakni ikut membantu memperkuat program pemasaran berbasis pelanggan untuk koran Manuntung. Saya tiga bulan tinggal di Kaltim.

Pak Bos MG meminta saya berkoordinasi dengan Karyono, pegawai bagian iklan Merdeka di Jakarta. Itulah awal saya menapakkan kaki di Jakarta. 

Pak Margiono biasa dipanggil Pak Bos MG atau Pak Bos oleh teman-oleh yang ngenger di rumahnya. (Ngenger= Dititipkan ke orang lain untuk mengabdi).

Pak Bos MG  adalah idola bagi penduduk kampung kecil di Kabupaten Tulungagung bagian selatan (Jawa Timur). Kampung  ini berada di Desa Sambitan,  Kecamatan Pakel.  Pada 1980-1990, anak-anak yang masih bersekolah pasti diingatkan oleh orang tuanya untuk menjadi orang besar seperti Pak Bos MG.

Saya sikut ngenger di rumah Pak Bos MG di Surabaya pada 1991, yakni setelah lulus SMA dan ingin melanjutkan ke perguruan tinggi. Saat itu setidaknya sudah delapan orang yang ngenger di rumah Bos MG. Itu belum bermasuk adik-adik kandungnya.  Jadi, termasuk adik kandungnya, di rumah Pak Bos MG ada 17 orang. Pada hari Minggu jumlahnya bertambah karena banyak anak Tulungagung yang main. Mereka tidur berjejer sambil kemulan sarung di lantai dua. Hampir tiap malam mereka rebutan bantal.

Mentraktir, memberi uang, memberi bantuan ini-itu sudah merupakan kebiasaan Pak Bos MG. Kami yang ngenger di rumahnya tidak mengeluarkan uang sepersen pun untuk kebutuhan sehari-hari. Dan itu bukan hanya satu-dua bulan, melainkan bertahun-tahun, berganti-ganti orang, istilahnya “dari generasi ke generasi” (mirip iklan produk Unilever).  Enak banget ya ….

Saat-saat paling menggembirakan adalah ketika Pak Bos MG sedang mendapat banyak rezeki. Para penghuni diajak makan di restoran paling enak di Kota Surabaya serta bernyanyi di karaoke keluarga.  Seingat saya, Karaoke NAV di Pertokoan Nam Permai, Jalan  Mayjen Sungkono.  Pak Bos MG biasanya membawakan lagu  Rhoma Irama.  Suaranya? Yahudlah….

Memang tak ada aturan, lisan atau tertulis: setiap anak yang ngenger akan pergi dengan sendirinya ketika sudah mendapatkan pekerjaan, sehingga tempatnya bisa digantikan oleh yang lain. Waktu saya meinggalkan Surabaya pada awal 1996 masih ada lima orang yang ngenger. Mereka diurus oleh istri Pak Bos MG, Ibu Sri Rahayu.


Bertolak Ke Jakarta

Tidak ada yang boleh menolak perintah Pak Bos MG, itu berlaku bagi kami semua yang ikut ngenger di rumahnya. Bagi kami, perintah Pak Bos MG ibarat sabda pandita ratu. Harus dijalankan. Karena pasti untuk kemajuan, untuk kesuksesan, untuk belajar menjadi pintar dan mengetahui lebih luas  berbagai hal, baik bidang pekerjaan maupun bidang kehidupan.
Begitulah,  tanpa pikir panjang, karena sudah diperintah Pak Bos MG, pada hari itu juga saya pesan tiket kereta api ekonomi tujuan Jakarta. Tiba di Stasiun Pasar Senen saya dijemput Om Karyono (bagian iklan), lalu naik motornya  ke Rawabokor, Kantor Redaksi Merdeka.

Pagi-pagi, ketika masuk kantor Pak Bos MG sudah ada. Bukan menunggu saya, memang dia biasa pagi-pagi sudah di kantor. Saya menghadap.
“Wis, goleko kosan disik. Istirahat, sesuk ketemu maneh,” kata Pak Bos MG.

Saya diantar oleh pegawai bagian umum (saya lupa namanya) mencari rumah kontrakan.  Akhirnya dapat rumah di samping kantor, dekat pinggir sungai. Dialah mengurusnya dan hari itu juga saya  menempati rumah itu.

Beberapa jam kemudian  saya diperkenalkan dengan manajer pemasaran (dari Jawa Pos juga), Mas Aminul Huda. Saya banyak belajar pemasaran koran itu dari Mas Huda. Malam hari saya main ke kantor lagi, sambil melihat suasana kantor redaksi, rapat redaksi serta proses percetakan dan distribusi. Tiba-tiba Pak Bos MG memanggil saya . Dia bertanya,  “Piye  Sis, ben cepat koran iso menyebar, cepet dikenal orang, iso payu?
“Bos, selain produk, kita harus perkuat jaringan distribusinya. Pilihannya ke Pak Bos, saya pertama ke Jakarta ini Bos, belum tahu medan. Pertama kita perkuat jaringan agen yang ada di Jakarta. Atau, kedua, kita bikin jaringan sendiri yang melibatkan orang-orang kantor, seperti Jawa Pos tempo dulu.  Kalau bikin jaringan sendiri, nanti kita panggil pasukan PPL (petugas promosi lapangan) dari Surabaya,” kata saya.
Kemudian dia mengatakan,  “Yo wis, panggil pasukan dari Surabaya, nanti diajarin sekalian untuk kembangin eceran. Soal agen sendiri, nanti saya minta bantuan redaksi.”

Begitulah Pak Bos MG. Satset, satset kerjanya kalau idenya udah oke. Dia berkoordiasi dengan Surabaya untuk minta PPL ke Jakarta. Di Kantor Pusat PPL Kembang Jepung diumumkan, “Siapa yang mau ke Jakarta ikut Pak MG, ada Siswo juga”.
Ada 12 anak PPL dari Surabaya berangkat ke Jakarta. Dan dari pihak redaksi ada yang siap menjadi penyalur koran. Waktu itu yang mendaftar Pak Amri Luthan (KAM), Pak Endang (Tangerang), Pak Nur Alamsyah (Cileduk Indah), dan Pak Aris (Pondok Gede).

Saya menyiapkan perangkat untuk rencana itu, seperti admistrasi, pemetaan wilayah dan sistem distribusi. Satu minggu kemudian pasukan PPL yang berjumlah 12 orang tiba di Jakarta. Pak Bos MG menegaskan lagi, mereka harus secepatnya mengenal Jakarta, mengenal agen-agen.
Saya selalu bilang, “Siap Bos”.  Dan itu bukan hanya di bibir, melainkan betul-betul dijalankan sepenuh hati.


Motivator Sejati

Pak Bos MG adalah seorang motivator sejati. Motivasinya bukan berisi kata-kata indah. Bukan pula dari kalimat-kalimat yang bersifat menghipnosis. Motivasi Pak Bos MG keluar dari sikap sehari-harinya. Tanggung jawab sehari-hari. Loyalitas sehari-hari.  Dedikasinya sehari-hari yang tak pernah mengenal lelah.

Setiap hari ada di kantor--pagi, siang, sore,malam, bahkan kembali pagi lagi. Seakan hidupnya hanya untuk memikirkan kemajuan koran. Itu yang tertular kepada kami, temen-temen dari pemasaran.

Kami di Rawabokor juga nyaris kerja 24 jam, tengah malam kontrol percetakan untuk menyiapkan distribusi koran, lalu ikut mengirim koran bersama armada ekspedisi, subuhnya keliling mencari agen potensial untuk pengembangan eceran. Pukul tiga sore berangkat lagi untuk pengembangan langganan di wilayah rumah temen-temen redaksi yang menjadi penyalur koran.

Pasukan PPL door to door, dari pintu ke pintu rumah, menjelaskan produk knowledge. Menjelaskan semua kelebihan dari koran itu, mulai halaman satu sampai rubrikasi tiap halaman, termasuk pengelolahan manajamen oleh Jawa Pos Group, langsung kepada konsumen.  Itulah yang kami lakukan agar mereka percaya koran Merdeka sudah berubah, baik isi maupun pengelolanya. 
Kami sangat bersemangat membangun kepercayaan pembaca melalui program PPL. Ketika seorang konsumen tertarik untuk mengikuti koran Merdeka secara kontinyu, ingin berlangganan, dilayani dengan baik oleh penyalur dari temen-temen redaksi.

Dari evaluasi selama tiga bulan, perkembangan koran eceran lebih cepat ketimbang pelanggan yang diperoleh melalui penyalur. Banyak hal yang kami sampikan kepada Pak Bos MG. Pertama, untuk penyalur atau langganan, kami kesulitan langsung ketemu dengan tuan rumah. Mereka rata-rata pulang sampai rumah pukul tujuh hingga delapan malam. Bahkan, ada yang baru tiba di rumah pukul sembilan malam. Beda dengan di Surabaya, pukul empat hingga lima sore pemilik rumah sudah santai. Sedangkan operasioanal PPL  pukul 16.00 hingga 19-30. Kedua, penyalur dari temen-temen redaksi bukan profesional di bidang keagenan sehingga pelayanannya tidak maksimal, koran dianter agak siang.
“Terus, apa langkah selanjutnya,” kata Pak Bos MG.
“Saya kira kita fokus saja ke eceran Bos. Kita kuatkan jaringan agen. Berita-berita bombastis disukai. Anak-anak dah siap,” kata saya.

Pak Bos MG menimpali, “Lalu, agen yang gimana?”
“Begini Bos. Sebaiknya kita kembangkan dari subagen potensial dari agen-agen besar. Mereka yang sub agen potensial itu kita angkat menjadi agen resmi. Mereka akan lebih merasa terhormat menjadi agen resmi, lebih serius ikut memperjuangkan koran kita. Mereka juga akan menikmati langsung keuntungannya.  Karena kalau melalui agen besar itu, kita dianaktirikan, belum kalau penerbit besar itu ikut cawe-cawe,” saya coba memaparkan misi saya kepada  Pak Bos MG.
“Oke,” kata dia.

Itulah awal mulanya jaringan pemasaran koran fokus ke pasar eceran. Waktu itu dibentuk 30 agen unggulan di seluruh wilayah Jabodetabek. Agen unggulan itu  yang betul-betul  saya kawal, saya perhatikan khusus. Ada kebijakan khusus untuk pengembangan.  Dan betul saja, oplah koran Merdeka enam bulan kemudian lebih dari 45 ribu eksemplar dan terus menanjak hingga susah direm.



Target: Bandung dan Bandar Lampung

Pertumbuhan koran Rakyat Merdeka termasuk cepat, peredaran koran di wilayah Jabodetabek kala itu sudah cukup bagus,  tinggal memaksimalkan saja.
Suatu saat Pak Bos MG duduk di deket meja saya, lalu bilang, “Wis wayahe koran iki tembus luar Jakarta. Bandung opo Lampung disik.”
“Wah, iki perintah anyar maneh,“ kata saya dalam hati. Saya bilang, “Bandung lebih mudah Bos, nggak usah nyebrang pulau seperti ke Lampung. Kita bikin jalur baru dari Puncak– Bandung.  Kalau ke Lampung nanti sekalian dari Serang baru nyebrang ke Lampung.”
“Oh…,” sahut Pak Bos MG.

Besoknya saya ajak Tri Wahyudi membentuk jaringan distribusi baru, mulai Gadog, Puncak, Cipanas, Cianjur sampai ke Cikapundung, Bandung. Perlu waktu dua hari untuk membuat komitmen-kominten dengan agen-agen sepanjang jalur Puncak – Bandung itu. Seperti halnya di Jakarta, di Bandung saya juga tidak menggunakan agen resmi dari penerbit besar. Menemukan beberapa calon agen pontensial, salah satu yang paling sukses adalah agen di bawah pimpinan Pak Rajab. Oplahnya tertinggi, di atas lima ribu eksemplar.  Ketika besar-besarnya RM, pada 1999, (Rakyat Merdeka berdiri Tahun 1999) oplah jalur Puncak-Bandung itu menembus angka hingga di atas 20 ribu eksemplar.

Tentu saja, besarnya oplah itu tidak tergantung pada jaringan pemasaran. Untuk memperkokoh pasar dibuatkanlah halaman khusus Bandung, namanya seingat saya Bandung Raya. Redaktur yang menangani  daerah itu adalah Bang Mulia Siregar (BM), dengan tiga atau empat wartawan di Bandung.

Satu bulan fokus di Bandung saya menyerahkan segala urusan keagenan serta pengembangan koran kepada Tri Wahyudi. Saya persiapkan diri untuk ke Lampung. Di Lampung bertemu dengan teman teman wartawan Merdeka, yang dikoordinatori oleh Gus Ton (Hartono Utomo), yakni Dasril Yanto, dan Suprapto. Sekarang keduanya sukses, Dasril menjadi pengusaha, Prapto  anggota DPRD Provinsi Lampung.

Saya tiga bulan bertugas di Lampung, menata semua pengembangan koran dan keagenan, dari oplah yang saat itu 75 eksemplar menjadi 7.000 eksemplar. Itulah juga salah satu kontribusi dari teman-teman redaksi di Lampung melalui berita-berita yang mereka liput.

Sejumlah terobosan  dilakukan Pak Bos MG, di antaranya membangun loyalitas pengecer dengan memberikan berbagai hadiah, melibatkan pembaca melalui undian maupun sayembara berhadiah.  Bahkah, melibatkan para pembaca menulis berita. Dengan membuat halaman khusus pembaca, namanya DPR Merdeka – Dewan Pembaca Rakyat Merdeka. Di situlah para pembaca digodok, diajari, dan dilatih membuat tulisan, sampai tulisan itu layak muat di koran. Penanggung jawab DPR Merdeka saat itu Pak UG, inisial dari Usman Gumanti.

Itulah sosok Pak MG, melalui ide-ide besarnya, gagasan-gagasan besarnya,terobosan-terobosan besarnya, menjadikan koran Rakyat Merdeka sebagai koran politik paling berpengaruh di republik ini, dengan kekuatan oplahnya yang menembus angkat 200 ribu eksemplar.



Begitulah Pak Bos MG. Apa yang dikatakannya adalah sabda, sama halnya dengan sabda pandita ratu. Apa yang dikatakan harus dilaksanakan sepenuh hati. Berbagai rintangan harus dihadapi, harus mampu berinovasi dan berimprovisasi. Semua alangan pasti ada jalan keluarnya. Seperti namanya Margiono < margi= jalan, ono = ada> selalu ada jalan.

Itulah Pak Bos Margiono, panutan saya, orang yang paling saya kagumi, juga orang yang paling saya takuti. Takut bukan pada orangnya. Dia adalah orang paling baik yang saya tahu, yang saya kenal, yang saya ikuti, seperti orang tua sendiri. Yang paling saya takutkan adalah saya takut gagal menjalankan perintahnya. Gagal bagi kami (anak ngenger) adalah aib. Gagal menjalankan perintahnya  adalah perasaan berdosa besar yang sulit diampuni.

Kini panutan saya itu, orang yang saya kagumi itu, orang tua kami itu, telah tiada. Pada 1 Februari 2022 dia pergi ke dunia keabadian, setelah satu minggu sesak napas di ICU Rumah Sakit Pusat Pertamina.

Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Insyaallah, Pak Bos MG husnul khatimah. Diterima seluruh amal ibadahnya serta dihapuskan segala kesalahannya.
Aamiin. Selamat Jalan Pak Bos MG.

Baca Juga :

Leave a Comment