Sayap Patah Primordialisme

radarikn.id
  • Irjen Pol Prof Dr Chrysnanda Dwilaksana, MSi (Foto: dok)
  • Sabtu, 22 Juli 2023 - 15:30 WIB | Azkayra

Maribaya Lembah Someah, RADARIKN -- Sayap patah (meminjam tulisan Kahlil Gibran) sebagai tema lukisan saya untuk merefleksi dan menganalogikan serta mempertanyakan :

"Bisakah terbang dengan satu sayap ?" 

"Mampukah terbang dengan sayap yang patah?"

"Mungkinkah peradaban dimulai dengan kebiadaban?"

"Adakah kebaikan dan kebenaran dibangun dengan kekerasan dan anti kemanusiaan?"

Sayap sayap patah analogi kebencian yang menjadi kejahatan dan anti kemanusiaan.

Sayap patah ....  memaksakan pembenaran dan terus mengatasnamakan kebenaran.

Sayap patah ... bahagia atas penderitaan atau menderita melihat kebahagiaan.

Sayap patah ..... ada udang di balik rempeyek untuk memenuhi hasratnya, memberdayakan primordial sebagai tunggangan mendapat legitimasi dan solidaritas.

Tatkala sayap patah .....logika menguap, semua bisa berubah arah ....entah akan ke mana.

Bagaimana sayap patah akan terbang sempurna, tatkala sarat primordialisme. di sana sini sarat trik dan intrik untk kepentingan pribadi dan kroni.

Sayap patah primordialisme bagai raga kehilangan jiwa.

Pepatah mengatakan dari mata turun ke hati, manusia  melihat yang pertama tentu dari raganya. Raga yang paling mudah ditangkap indera. Raga tidak selalu sama bahkan bisa berbeda dengan jiwa. Bagai kaleng yang isinya tak sesuai merknya. 

Tatkala raga yang merajai hati dan jiwa terabaikan bahkan dihilangkan. Kesukaan yang ragawi secara subyektif menjadi acuan. Kuasa menjadi rebutan, karena disitu sumber daya ada untuk diperebutkan. Semakin kaya sumber daya yang dimiliki semakin besar potensi konfliknya. 

Di dalam masyarakat yang masih kental primordialismenya, logika minim, yang diagungkan spiritual dan emosional. Issue digoreng menjadi labeling dan memuncak menjadi kebencian. Tatkala kebencian berkembang logika tergerus, emosi dan opini diobok obok suasana keruh dan berpoyensi konflik sosial.

Gepuk-gepukan di antara sesama anak bangsa dan sesaudaranya terus menjadi pemandangan lumrah yang dianggap biasa. Mudah dan lincah saling hina cela maki saling menyalahkan saling serang bahkan saling membunuh akan mudah dilakukan. Segala sesuatu kalau sudah dilabel primordialisme apapun issuenya tanpa dikunyah langsung telan dan segera membakar jiwa raga seakan tak perlu logika jadilah amuk merajalela. 

Media kini seakan menjadi dunia dan jembatan yang merupakan ruang baru lahirnya warga mayantara. Terlebih lagi media sosial di situ seakan apa saja siapa saja boleh berbuat apa saja. Dari yang mencerahkan sampai merusak, membangun sampai meruntuhkan menyatukan sampai membubarkan negara ada di sana. Hujan pujian hingga caci maki lengkap. Pamer kecerdasan hingga pamer ketololanpun ada. 

Raga memang onggokkan daging saja jika tanpa jiwa. Apa yg dilakukan raga tak lagi ada makna hampa belaka. Akankah semua takdirnya menuju ke sana bila sayap sayap kebangsaan terus dipatahkan? Semoga tidak.

Cdl

Baca Juga :

Digital Leadership: Jago Sosial?
  • Senin, 17 Juni 2024 - 12:25 WIB
Mengapa Digital Leadership Harus Disiapkan?
  • Jumat, 14 Juni 2024 - 20:50 WIB
Media Policing
  • Selasa, 11 Juni 2024 - 07:55 WIB

Leave a Comment