Di Masa Pandemi, Apkasi Dorong Daerah Manfaatkan Peluang Ekspor Komoditas Pertanian
- Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) mengajak daerah tetap optimis melalui kegiatan Webinar dengan mengangkat tema “Peluang dan Tantangan Ekspor Komoditas Pertanian Daerah”.
Jakarta, GPSIndonesia -- Di tengah situasi Pandemi Covid-19, Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) mengajak daerah tetap optimis melalui kegiatan Webinar dengan mengangkat tema “Peluang dan Tantangan Ekspor Komoditas Pertanian Daerah”.
Kegiatan ini berlangsung virtual, Selasa (27/07/2021) diikuti 120 peserta yang terdiri dari para Bupati, Wakil Bupati dan Kepala Dinas Pertanian/Perkebunan Kabupaten seluruh Indonesia.
Sekretaris Jenderal Apkasi, Adnan Purichta Ichsan dalam sambutannya mengajak anggota Apkasi untuk tetap bersemangat, berpikir positif dan produktif meski di tengah situasi pandemi yang penuh dengan pembatasan-pembatasan. Adnan menjelaskan webinar ini diselenggarakan sebagi aksi tindak lanjut dari arahan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo yang hadir dalam kegiatan Rakernas XIII Apkasi di Bali pertengahan Juni 2021 silam.
“Saat itu Pak Menteri Pertanian menyatakan akan memfasilitasi anggota-anggota Apkasi yang mengalami kendala dalam mengekspor komoditi pertanian. Bahkan beliau “menantang” kita semua di saat pandemi ini bisa memanfaatkan peluang ekspor komoditi pertanian dan menjadikan pertanian sebagai salah satu solusi peningkatan perekonomian daerah dengan memberikan kemudahan-kemudahan,” terang Bupati Gowa ini sambil berharap daerah bisa aktif memberikan masukan dan saran serta permasalahan yang dihadapi di lapangan sebagai bahan untuk audiensi dengan Menteri Pertanian yang akan dijadwalkan segera setelah situasi mereda dan status PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) Level 3-4 dicabut.
Sementara itu webinar yang dimoderatori oleh Sekretaris Bidang Pertanian dan Ketahanan Pangan Apkasi, Thoriqul Haq menggarisbawahi bahwa tema yang diangkat ini, yakni peluang ekspor komoditi pertanian daerah ini adalah potensi kongkrit yang bisa dihadirkan yang bisa mendongkrak perekonomian daerah dan nasional. “Benar bahwa pertanian ini menjadi primadona dan peluang untuk bisa memasarkan ke luar negeri membang terbuka lebar. Namun problematikanya persoalan di lapangan tidaklah sederhana,” imbuh Bupati Lumajang ini dengan maksud memantik diskusi.
Cak Thoriq, begitu ia disapa, menjelaskan pemerintah kabupaten banyak yang memiliki program pertanian yang bagus tapi untuk memasarkan ke pasar yang lebih luas masih menghadapi banyak kendala. Ia berujar, “Misalnya kami daerah yang surplus beras dan di beberapa kabupaten lain juga demikian, namun di saat masa panen berbarengan harga menjadi turun dan kualitas pun juga turun. Imbasnya tidak bisa memenuhi standar sebagai komoditas ekspor. Inilah yang menjadi hambatan sekaligus peluang bagaimana kita bisa duduk bersama untuk mencari solusinya.”
Tampil sebagai pemateri dalam kegiatan ini adalah Lishia Erza, CEO PT ASYX Indonesia, perusahaan Supply Chain Collaboration & Finance Technologies yang membuka wawasan bagaimana daerah sebetulnya memiliki peluang yang besar untuk bisa memasarkan komoditas pertanian ke pasar luar negeri. “Meski peluangnya terbuka lebar, namun pemerintah daerah masih memiliki banyak pekerjaan rumah yang harus dibereskan terlebih dahulu,” katanya mengingatkan.
Lishia mengajak pemerintah kabupaten hadir untuk bisa memetakan data-data penting terkait komoditas unggulan apa saja yang ada di tiap-tiap daerah, berapa kapasitasnya, dan bagaimana tipe dan skala pelaku usahanya. “Hal ini penting dilakukan pemerintah kabupaten agar tahu bagaimana treatment yang diberikan bisa tepat dosisi dan tepat sasaran,” jelasnya.
Literasi akan komoditas pertanian dan produk-produk turunannya, wawasan tentang keuangan dan rantai pasoknya juga sangat menentukan apakah daerah sudah siap melompat ke pasar ekspor atau belum. “Misalnya saja saat ini kita melihat bagaimana eforia tanaman porang Indonesia sedang naik daun, tapi jangan kaget kalau di pasar internasional itu Indonesia bukanlah satu-satunya negara yang memiliki keuanggulan saja. Ada Vietnam dan Thailand yang juga telah mengembangkan porang dengan kualitas sangat baik. Nah pemerintah kabupaten harusnya bisa hadir untuk mengedukasi para petani kita, tidak hanya mengenai peluang-peluang ekspornya saja, tapi bagaimana situasi pasar global harusnya menjadi pemahaman yang tidak terpisahkan,” kata Lishia.
Bupati Jember, Hendy Siswanto memberikan apresiasi atas inisiatif Apkasi mengelar webinar peluang ekspor komoditas pertanian daerah ini. “Kegiatan ini sangat bermanfaat bagi kami sebagai anggota untuk bisa melihat secara komprehensif peluang ekspor dan bagaimana bisa kami memanfaatkannya. Saya punya usul untuk menjadikan Apkasi ini sebagai wadah bagi daerah sebagai pemanasan sebelum melakukan ekspor ke luar negeri,” katanya.
Hendy menjelaskan idenya bahwa ekspor itu ada tahapan-tahapannya, dan daerah rasanya perlu berlatih bersama, semisal bagaimana mengelola ketersediaan pasokan dan menjaga kualitasnya. “Saya usul kita sesama anggota Apkasi bisa saling melakukan trading komoditas pertanian. Jember misalnya punya stok beras melimpah, tinggal mana daerah lain yang merasa kekuangan. Atau Jember ini terkenal dengan edamame, dan ini permintaannya cukup tinggi. Ayuk kita bersinergi antar daerah, kita bisa kembangkan one village one product dan kita bisa meningkatkan perdagangan komoditi antar daerah sesuai potensi masing-masing,” ajaknya.
Hal senada juga diungkapkan Bupati Gorontalo, Nelson Pomalingo yang menegaskan sektor pertanian patut disyukuri di masa pandemi ini justru menjadi sektor yang tidak terlalu terpengaruh. “Saat ini kami memiliki beberapa produk pertanian yang sudah berhasil melakukan ekspor, di antaranya jagung, kelapa, aren dan pisang.” terangnya.
Nelson juga mendorong peran Apkasi bisa ditingkatkan untuk bisa menjadi wadah pusat data ekspor nasional. “Terkait dengan pertemuan ini yang dijadikan bahan untuk audiensi dengan Menteri Pertanian, kami ingin memberikan masukan bahwa subsidi yang diberikan Kementerian Pertanian yang terpusat pada masalah bibit dan pupuk, hendaknya bisa dialihkan ke bentuk lain semisal teknologi atau pengadaan mesin-mesin pertanian. Ini lebih bermanfaat bagi daerah karena kalau masalah bibit dan pupuk ini relatif sudah terselesaikan dengan adanya fasilitas kredit usaha rakyat,” tambahnya.
Hal lain yang menjadi catatan Nelson adalah soal kelembagaan pertanian dan ekonomi ini agar bisa terbentuk di tingkat kecamatan serta perhatian pemerintah pusat kepada para petani kelapa dalam agar didorong lebih besar lagi. “Selama ini kalau bicara soal kelapa, biasanya tertuju pada kelapa sawit. Faktanya kelapa sawit ini 80% milik swasta dan petani rakyat hanya punya porsi 20% saja. Bandingkan dengan kelapa dalam yang menjadi komoditas rakyat, dan luasnya terbesar di seluruh dunia itu ada di Indonesia, mencapai 3,7 juta hektare, tapi perhatian pemerintah pusat masih kurang dilakukan,” katanya.
Nelson menceritakan di Gorontalo sudah ada tiga pabrik yang mengolah kelapa dalam ini menjadi komoditas ekspor. “Kami berharap Kementerian Pertanian bisa mendorong karena kelapa dalam ini tersebar di seluruh Indonesia. Selain dari daging dan air kelapa, mulai dari akar hingga daunnya pun bisa dimanfaatkan, di samping aspek sosiologi di mana masyarakat kita dari mulai lahir hingga meninggal memanfaatkan berbagai instrumen dari kelapa. Sehingga kita berharap, di tingkat nasional ada semacam badan otoritas terkait dengan komoditas kelapa ini, sehingga soal penentuan harga dan lain sebagainya ini bisa dilakukan sama halnya dengan kelapa sawit. Terakhir adanya politeknik pertanian yang dikembangkan Kementan hendaknya bisa terkait dengan ketersedian komoditas unggulan di daerah,” tukas Nelson.
Sementara itu Bupati Tapanuli Utara, Nikson H. Nababan mengusulkan agar melalui Apkasi bisa dibentuk semacam lembaga independen yang bisa menilai hasil bumi para petani. Ia menambahkan, “Berapa kadar racun, berapa kadar air dan lain sebagainya itu kita sendiri yang menilai dan ini kalau memungkinkan bisa dibentuk di tiap-tiap kabupaten. Jangan orang lain yang menilai. Soal pasar bilang bahwa produk kita dinilai tidak memenuhi standard, ya tidak masalah gak papa kita pulang barang saja. Karena kalau semua ini terpusat dari pendapat orang luar dan tidak ada keterlibatan pemerintah untuk mengendalikannya, sampai kapan pun petani akan dipermainkan.”
Regulasinya, sebut Nikson memang belum ada. “Untuk itulah saya mengusulkan kalau inisiatif ini bisa disuarakan melalui Apkasi, bahwa pemerintah kabupaten dan kota bisa membentuk badan atau lembaga untuk bisa menyatakan bahwa produk itu layak untuk diperjualbelikan. Layak juga untuk upaya penangkaran dan lain sebagainya. Jadi kita bisa mandiri, kita bisa kuat,” kata Nikson bersemangat.
Leave a Comment