KemenPPPA Apresiasi Penyusunan Kebijakan Urgensi Pengaturan Tindak Pidana KSBO dan RUU TPKS Perlindungan Korban

radarikn.id
  • “Pada kesempatan ini, kami menyampaikan apresiasi kepada YLBH APIK Jakarta dalam penyusunan Kertas Kebijakan Urgensi Pengaturan Tindak Pidana KSBO dan Perlindungan Korban dalam RUU TPKS sebagai bentuk kepedulian dan upaya perlindungan korban KSBO. Mengenai KSBO, perlu kehati-hatian untuk membedakan mana delik yang diatur dalam UU Pornografi, mana delik yang diatur dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan mana delik yang menjadi ranah Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Pemerintah mengusulkan bahwa pornografi yang melibatkan anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual merupakan TPKS.” ujar Asisten Deputi Pelayanan Perempuan Korban Kekerasan KemenPPPA, Margareth Robin Korwa di Jakarta (23/02).
  • Kamis, 24 Februari 2022 - 14:05 WIB | Gaoza

Jakarta, GPSIndonesia – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mengapresiasi penyusunan Kertas Kebijakan Urgensi Pengaturan Tindak Pidana Kekerasan Seksual Berbasis Online (KSBO) dan Perlindungan Korban dalam Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).

Penyusunan kertas kebijakan urgensi tindak pidana KSOB dan RUU TPKS ini dirancang oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (YLBH APIK) Jakarta sebagai bentuk kepedulian terhadap fenomena KSBO yang terus meningkat.

“Pada kesempatan ini, kami menyampaikan apresiasi kepada YLBH APIK Jakarta dalam penyusunan Kertas Kebijakan Urgensi Pengaturan Tindak Pidana KSBO dan Perlindungan Korban dalam RUU TPKS sebagai bentuk kepedulian dan upaya perlindungan korban KSBO. Mengenai KSBO, perlu kehati-hatian untuk membedakan mana delik yang diatur dalam UU Pornografi, mana delik yang diatur dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan mana delik yang menjadi ranah Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Pemerintah mengusulkan bahwa pornografi yang melibatkan anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual merupakan TPKS.” ujar Asisten Deputi Pelayanan Perempuan Korban Kekerasan KemenPPPA, Margareth Robin Korwa di Jakarta (23/02).

Margareth menuturkan penentuan delik penting untuk menjamin pemenuhan hak korban yang terintegrasi dalam hukum acara yang diatur dalam RUU TPKS, yaitu hak atas penanganan, hak atas pelindungan dan hak atas pemulihan. Selain itu, penting juga untuk pelayanan bagi perempuan korban kejahatan dilakukan secara terpadu dalam Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) atau direktorat khusus untuk penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak.

“Dilihat dari urgensinya RUU TPKS telah memenuhi syarat untuk disahkan menjadi UU baik secara filosofis, sosiologis dan yuridis. RUU TPKS diharapkan dapat menjadi upaya pembaruan hukum dan bertujuan untuk (1) mencegah segala bentuk kekerasan seksual; (2) menangani, melindungi, dan memulihkan korban kekerasan seksual; (3) menindak pelaku kekerasan seksual; dan (4) mewujudkan lingkungan yang bebas dari kekerasan seksual.” jelas Margareth.

Penulis Kertas Kebijakan dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM), Sri Wiyanti Eddyono menjelaskan dari 783 kasus pengaduan Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) yang diterima oleh YLBH APIK Jakarta pada tahun 2021, sebanyak 437 laporan adalah kasus KSBO. Peningkatan tren kasus KSBO setiap tahunnya berasal dari destrupsi teknologi dan pandemi Covid-19 dimana bentuk KSBO semakin marak dengan modus yang beragam.

Dari 783 kasus KBGO, terpilah 9 (sembilan) bentuk KSBO yang sering ditemui, diantaranya: (1) perekaman suara/gambar tanpa izin; (2) ancaman penyebaran suara/gambar bernuansa seksual; (3) penyebaran suara/gambar bernuansa seksual; (4) modifikasi suara/gambar bermuatan pornografi bernuansa seksual; (5) pelecehan seksual dalam bentuk pengiriman suara/tulisan/gambar; (6) menjual gambar/video bernuansa seksual; (7) eksploitasi seksual; (8) perundungan seksual; dan (9) penguntitan.

“Karena itulah penyusunan kertas kebijakan ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang berbagai macam bentuk KSBO yang didasarkan pada pengalaman penanganan kasus, menganalisis kompleksitas penanganan perkara KSBO serta hambatan-hambatan pendampingan korban KSBO, dan memberikan usulan serta rekomendasi penyempurnaan substansi RUU TPKS yang terkait KSBO.” ujar Sri.

KemenPPPA sebagai leading sector dalam pembahasan Daftar Inventarisir Masalah (DIM) RUU TPKS telah melakukan berbagai macam upaya untuk mengakomodir masukan serta memperkaya muatan substansi RUU TPKS secara komprehensif, diantaranya dengan Focus Group Discussion (FGD), Sosialisasi, Advokasi dan Fasilitasi termasuk berkomunikasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Kementerian/Lembaga, masyarakat sipil, akademisi, media massa, tokoh agama/tokoh adat, dan Pemerintah Daerah.

Indonesia telah berkomitmen untuk menghapus segala bentuk penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan martabat manusia serta diskriminasi terhadap perempuan, anak, dan penyandang disabilitas melalui pengesahan beberapa konvensi internasional. Komitmen tersebut sejalan dengan 5 (lima) isu prioritas arahan Presiden Joko Widodo kepada KemenPPPA untuk menyelesaikan penurunan kekerasan terhadap perempuan dan anak dimana tercantum juga pada target Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan untuk menghapuskan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan.

“RUU TPKS perlu kita kawal baik dalam bentuk penyusunan maupun perumusan substansinya. Kami berharap bahwa RUU TPKS setelah disahkan menjadi Undang-Undang akan memberikan jaminan atas penanganan, pelindungan dan pemulihan bagi korban, serta memberikan efek jera bagi pelaku.” tutup Margareth.

Leave a Comment