
Literasi dan Diplomasi Ruang Angkasa Jadi Fokus Diskusi Publik di Universitas Paramadina
- Paramadina Graduate School of Diplomacy, bekerja sama dengan Indian Space Association (ISpA) dan South ASEAN International Advocacy & Consultancy (SAIAC), menyelenggarakan diskusi publik bertajuk “Equitable and Access to Space and Satellite” di Kampus Universitas Paramadina, Trinity Tower Lantai 45, Jakarta.
Jakarta, RADARIKN -- Paramadina Graduate School of Diplomacy, bekerja sama dengan Indian Space Association (ISpA) dan South ASEAN International Advocacy & Consultancy (SAIAC), menyelenggarakan diskusi publik bertajuk “Equitable and Access to Space and Satellite” di Kampus Universitas Paramadina, Trinity Tower Lantai 45, Jakarta.
Acara ini mempertemukan akademisi, praktisi, dan diplomat dari Indonesia dan India untuk membahas isu strategis mengenai keadilan akses terhadap ruang angkasa dan teknologi satelit di kawasan Asia.
Dalam sambutannya, Prof. Dr. Iin Mayasari, Wakil Rektor Bidang Mutu dan Kerja Sama Universitas Paramadina, menegaskan bahwa ruang angkasa kini menjadi domain strategis kelima setelah darat, laut, udara, dan siber.
“Dulu kita hanya berbicara tentang udara, darat, dan laut. Kini kita mengakui domain keempat—dunia siber—dan domain kelima yang sesungguhnya, yaitu ruang angkasa,” ujarnya.
Menurut Prof. Iin, ruang angkasa telah menjadi fondasi penting bagi kehidupan modern, dari sistem navigasi GPS hingga peringatan dini bencana. Ia menekankan bahwa pengelolaan ruang angkasa harus dilakukan secara kolaboratif antara pemerintah, industri, dan akademisi.
“Ruang angkasa bukan sekadar simbol kemajuan teknologi, tetapi fondasi kedaulatan dan keselamatan nasional,” tegasnya.
Shaanti Shamdasani, Presiden SAIAC Chair sekaligus pendiri ThinkGroup Asia, menyoroti pentingnya literasi ruang angkasa di kalangan publik dan media.
“Ketika kita berbicara tentang transformasi digital, kita sesungguhnya sedang berbicara tentang ketergantungan terhadap satelit dan spektrum orbit,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa ketimpangan akses antara negara maju dan berkembang menjadi tantangan besar yang harus dijawab dengan kerja sama internasional berbasis keadilan dan kesetaraan.
Sebagai Keynote Speaker, Lt. Gen. A.K. Bhatt, Direktur Jenderal Indian Space Association (ISpA), memaparkan perjalanan panjang India dalam membangun program antariksa nasional.
“Fokus kami selalu sederhana: bagaimana teknologi antariksa dapat membantu kehidupan rakyat, bukan sekadar mencapai planet lain,” ungkapnya.
India, dengan anggaran terbatas, berhasil menjadi salah satu negara yang mendaratkan wahana di kutub selatan bulan dan kini menumbuhkan ratusan startup ruang angkasa yang digerakkan anak muda. Ia menegaskan perlunya kolaborasi lintas kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara agar kemajuan ekonomi ruang angkasa dapat dinikmati bersama.
Shantanu K. Bansal, pendiri Indian Aerospace and Defence News (IADN), menekankan peran penting media dalam membangun kesadaran publik terhadap isu antariksa. Melalui platform digital IADN, ia mengembangkan jurnalisme berbasis data dan analisis untuk meningkatkan literasi sains di kalangan masyarakat.
Sementara itu, Prof. Dr. Erna Sri Adiningsih, Direktur Eksekutif Indonesian Space Agency (INASA) – BRIN, menjelaskan arah kebijakan ruang angkasa nasional dan pentingnya pengelolaan space debris serta peningkatan space situational awareness.
“Aktivitas manusia di luar angkasa semakin padat. Keberlanjutan akses ruang angkasa adalah tanggung jawab bersama,” ujarnya.
Menutup diskusi, Wachid Ridwan, Sekretaris Program Studi Magister Hubungan Internasional Universitas Paramadina, menyoroti isu tata kelola global ruang angkasa (space governance).
“Kita harus memandang ruang angkasa sebagai warisan bersama umat manusia—the province of all mankind. Diplomasi yang adil dan kolaboratif menjadi keharusan,” tegasnya.
Menurutnya, universitas memiliki peran penting dalam membentuk generasi yang memahami pentingnya tata kelola ruang angkasa yang etis dan berkeadilan.

Leave a Comment