Haruskah Makan Gabah Lagi?

radarikn.id
  • Irjen Pol. Prof. Dr. Chryshnanda Dwilaksana, M.Si.
  • Kamis, 24 Agustus 2023 - 07:40 WIB | Azkayra

Fajar Maribaya, RADARIKN -- Manusia bukan bangsa burung, lambungnya tak tahan untuk makan gabah. Maka gabah perlu diolah. Mengolah gabah merupakan suatu peradaban, bukan sebatas makan.

Olahan gabah bisa menjadi beras yang diolah lagi menjadi nasi, ketupat, lontong, arem-arem dan berbagai hidangan lagi.

Manusia makan gabah bukanlah dosa, namun menunjukan keterbelakangan. Para leluhur ribuan tahun mengajarkan bagaimana mengolah gabah menjadi makanan yang layak bagi manusia. Pada suatu masa ada yang berkuasa memerintahkan dengan paksa untuk makan gabah bukan nasi.

Banyak perubahan dan kemajuan yang telah dilakukan secara konseptual atau teoritikal maupun sesuatu yang pragmatis. Tak semua suka perubahan karena sudah mapan dan nyaman, selalu saja ingin mempertahankan demi kepentingan. Apa yang selalu diungkapkan tak lebih dari yang menguntungkan, bagi diri dan kroni. 

Disrupsi memang menggelora di sana sini namun selalu ada keengganan, ketakutan berubah. Jangankan berubah, berpikir dan bermimpi saja takut. Ini terbukti masih mengutamakan nilai, rangking, kualifikasi tanpa mampu mengerti atau mencintai profesi. 

Hidup dan kehidupan manusia memerlukan adanya perubahan sebagai penyelaras atau harmoni dalam kehidupannya. Perubahan merupakan suatu jalan tengah atau jembatan untuk berkomunikasi atau mencari solusi untuk mereduksi maupun menyelesaikan suatu konflik untuk terus dapat bertahan hidup tumbuh dan berkembang. Setidaknya sebagai pelepasan kepenatan atau mencegah terjadinya penyimpangan atas kesepakatan yang telah dibuat dan disepakati. Penyimpangan yang dianalogikan makan gabah lagi akan kontraproduktif dan kemunduran karena menyangkal kodrat manusia yang beradab. 

Perubahan dalam kesadaran yang disepakati sosial tidak serta merta mampu dipahami apalagi untuk diimplementasi, semua memerlukan adanya transformasi. Pencerahan, pencerdasan melalui habitus baru yang dimulai dari keutamaan. 

Disrupsi dilakukan dalam komunikasi yang merupakan seni. Seni bukan sesuatu hafalan melainkan kemampuan untuk menyalurkan imajinasi mulai dari pemikiran menjadi karya nyata. Semakin tinggi peradaban manusia nilai akan hidup dan kehidupan manusia ditransformasikan dalam disrupsi.

Hidup tidak sebatas menjalani kehidupan dan menunggu kematian, melainkan ada sesuatu yang diperjuangkan, ditransformasikan bahkan diwariskan atau untuk ditradisikan sehingga lestari lintas generasi. Dalam kehidupan sosial proses transformasi melalui pendidikan bagj perorangan maupun secara kolektif untuk mengatasi permasalah hidup dan kehidupan. 

Kebudayaan dalam pendidikan merupakan keutamaan yang saling kait mengkait satu sama lain dalam mengeksploitasi sumber daya maupun pendistribusiannya yang dilakukan secara selektif prioritas. Dengan demikian pendidikan merupakan suatu seni yang menjadi ikon peradaban. 

Implementasi atas pemenuhan kebutuhan hidup untuk dapat bertahan bahkan tumbuh dan berkembang memerlukan produktifitas. Proses produktifitas dinamis, memerlukan disrupsi yang dibangun melalui atau dalam suatu rekayasa sosial. Di dalam rekayasa sosial inilah pendidikan menjadi acuan disrupsi untuk dapat diterima dan memiliki tempat untuk diimplementasikan sehingga tumbuh berkembang. 

Rekayasa sosial merupakan refleksi kemampuan mewujudkan dan memelihara keteraturan sosial, yang tidak sebatas yang normatif tetapi juga ada suasana ada rasa aman, nyaman, asri bahkan ngangeni. Mewujudkan rekayasa sosial memerlukan adanya leadership yang kuat yang mampu belajar dan memperbaiki kesalahan di masa lalu, siap di masa kini dan mampu menyiapkan bagi masa depan yang lebh baik. 

Pemimpin bukan dicetak melainkan dipersiapkan untuk menjadi pionir yang mampu mewujudkan dan memelihara keteraturan sosial melalui rekayasa sosial. Pemimpin juga dituntut kemampuan membangun solidaritas sosial secara kolektif, bersama sama membangun atas dasar kesadaran tanggung jawab dan disiplin untuk ditaati ditransformasikan dan ditradisikan. 

Pemimpin yang mampu menjadi ikon peradaban, memiliki seni komunikasi yang terefleksi rasa dalam jiwa sebagai imajinasi yang mampu diimplementasikan ke dalam berbagai model hidup dan kehidupan. Dari pemenuhan kebutuhan jasmani kebutuhan rohani kebutuhan biologis dan kebutuhan adab semua diolah dan diekspresikan dengan adanya cita rasa yang terus menerus tumbuh berkembang. 

Seni dalam rekayasa sosial menjadi refleksi peradaban yang membudaya di berbagai saluran ekspresi imajinasi agar ada harmonisasi kehidupan sosial bagi semakin manusiawinya manusia. Hidup menjadi semakin hidup dan penyelesaian atas penyimpangan sosial maupun konflik sosial secara beradab, yang tak mungkin dilakukan pemimpin-pemimpin yang sebatas ingin makan gabah lagi.

Cdl 

Baca Juga :

Leave a Comment