Meneladani Gerakan Moral Jenderal Hoegeng
- Foto: Jean Calvijn Simanjuntak (Dok Pribadi)
Jakarta, RADARIKN -- Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santoso (Hoegeng) dapat dikatakan sebagai role model gerakan moral kepolisian dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Dia dikenal sebagai polisi yang bersih, sederhana, jujur, tidak memiliki banyak uang, tidak 'gila' harta maupun jabatan, dan anti gratifikasi.
Gerakan moral merupakan manifestasi kebijaksanaan, karakter, dan integritas Hoegeng yang bermanfaat bagi seluruh anggota kepolisian maupun aparat pemerintah pada umunya agar dapat dijadikan teladan dan selanjutnya diimplementasikan dalam melaksanakan tugas.
Hoegeng lahir di Pekalongan, Jawa Tengah, 14 Oktober 1921, menjadi Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) kelima, menjabat pada tahun 1968-1971 atau selama 1.235 hari. Ayahnya seorang kepala kejaksaan di Pekalongan, sedangkan ibunya sebagai pekerja rumah tangga (Pusat Sejarah Polri, 2021: 233).
Hoegeng menyelesaikan sekolah dasar di Hollands-Inlandsche School Pekalongan, dan menyelesaikan pendidikan menengah pertama dari Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Pekalongan tahun 1937. Pendidikan menengah atas ditempuhnya di Algemeene Middlebare School (AMS) Yogyakarta.
Pada saat Perang Dunia II masih berlangsung, Hoegeng melanjutkan studi ke Batavia untuk menempuh pendidikan hukum di Recht Hoge School (RHS), namun tidak sampai selesai karena Jepang berhasil merebut Batavia dan menutup RHS. Hoegeng yang putus kuliah terpaksa pulang kampung untuk berkeliling berjualan apa saja, dan kemana saja demi mengisi waktu (Pusat Sejarah Polri, 2021: 233).
Hoegeng memiliki cita-cita menjadi polisi sejak kecil, dan bergabung dengan Korps Bhayangkara pada masa pemerintahan Jepang setelah lulus seleksi yang dilakukan Gunseikanbu, Kantor Pusat Pemerintahan Militer Jepang kala itu. Karirnya dimulai dari pangkat rendahan yang tidak bergaji, dan ditempatkan untuk pertama kali di kantor polisi karesidenan.
Liputan Majalah Tempo edisi 14 Agustus 2021 mencatat, awalnya dengan latar belakang mahasiswa ilmu hukum, Hoegeng berharap langsung diangkat menjadi inspektur polisi, tetapi nyatanya diangkat sebagai polisi berpangkat zyunsabutyoo, setingkat di bawah inspektur polisi kelas II, bertugas di Pekalongan Dai 1 Keisatusyo zuki. Hoegeng menempuh kursus kepolisian di Sukabumi, sempat berpindah haluan menjadi anggota ketentaraan angkatan laut berpangkat mayor.
Namun, pada akhirnya dia bergabung kembali dengan Polri, menjadi mahasiswa tugas belajar di Akademi Kepolisian angkatan pertama Tahun 1946 di Mertoyudan, Magelang, dan lulus Tahun 1952.
Selama masa pendidikannya ini, Hoegeng bertemu dengan Meriyati Roeslani, wanita yang kemudian dinikahinya pada 31 Oktober 1946. Hoegeng pernah ditangkap dan ditahan oleh Pemerintah Sipil Hindia Belanda (NICA) selama hampir tiga minggu.
Ketika ditahan, Hoegeng ditawari bergabung dengan Belanda, namun Hoegeng menolak. Hoegeng pergi ke Jakarta setelah ditahan, dan atas permintaan atasannya, Raden Soemarto, dia masuk delegasi Indonesia untuk berunding dengan NICA mengenai kemerdekaan Indonesia pada November 1947. Hoegeng bertugas memantau kondisi serta memberikan bantuan berupa makanan dan pakaian bagi pejuang Indonesia yang ditahan Belanda.
Hoegeng juga menjadi perwira penghubung dengan polisi angkatan lain, tentara Indonesia, kejaksaan, dan sejumlah tokoh, seperti Jenderal Soedirman dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX (Majalah Tempo, 14/08/2021).
Dia pernah menolak pemberian seorang pengusaha di Medan ketika bertugas sebagai Kepala Direktorat Reserse Kriminal Kepolisian Sumatera Utara pada awal 1956. Kala itu, seorang pengusaha membeli dan menghiasi rumah dinas Hoegeng dengan barang-barang atau perabot mewah. Namun, Hoegeng menolak semua hadiah itu dan meminta barang-barang mewah itu dikeluarkan dari rumah dinasnya dan diletakkan di pinggir jalan.
Hoegeng sering mendapat tawaran gratifikasi dan suap tapi ditolak, Hoegeng pernah mengembalikan kalung emas seberat 5 gram yang diberikan istri Duta Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kalung emas itu diberikan kepada istri Hoegeng sebagai ucapan terimakasih karena Hoegeng berhasil menemukan mobil istri Duta Besar tersebut yang dicuri orang.
Hoegeng pernah ditugaskan juga di Markas Besar Angkatan Kepolisian (sekarang Markas Besar Polri) pada 1961, ditunjuk sebagai Kepala Jawatan Imigrasi (sekarang Direktorat Jenderal Imigrasi). Sepulang dari pelantikan sebagai Kepala Jawatan Imigrasi, Hoegeng meminta istrinya untuk menutup lapak jualan kembang, padahal usaha istrinya tersebut sedang berkembang dan ikut menopang perekonomian keluarga.
Hoegeng tidak mau orang-orang memborong dagangan istrinya untuk memperlancar urusan imigrasi dan membuat penjual bunga lain kehilangan pelanggan. Hoegeng tidak pernah mengambil gaji dan fasilitas ketika menjabat Kepala Imigrasi, karena dia mendapat gaji dan fasilitas dari kepolisian.
Dalam buku Hari Bhayangkara ke-75 dijelaskan, Hoegeng pernah menjabat Menteri Iuran Negara dalam Kabinet Dwikora II atau kabinet seratus dan Sekretaris Kabinet pada Tahun 1965.
Pada era orde baru, Hoegeng dilantik menjadi Panglima Angkatan Kepolisian Republik Indonesia pada 15 Mei 1968 menggantikan Jenderal Soetjipto Joedodihardjo dan memimpin Korps Bhayangkara. Hoegeng mengubah nama Angkatan Kepolisian Republik Indonesia menjadi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dia juga mengganti sebutan Panglima Angkatan Polri menjadi Kepala Polri, serta Markas Besar Angkatan Kepolisian menjadi Markas Besar Polri.
Pernah suatu ketika, Kepala Kepolisian Daerah Metropolitan (Kapolda) Jakarta Raya kala itu, mengutus anak buahnya untuk berjaga di rumah Hoegeng karena adanya ancaman pembunuhan terhadap Hoegeng. Namun, Hoegeng menolak pengamanan tersebut, dan meminta para petugas itu pergi.
Hoegeng juga tidak segan-segan turun langsung ke lapangan saat bertugas sebagai Kapolri. Dalam memberantas narkotika, Hoegeng pernah menyamar sebagai anggota hippies, komunitas yang disebut akrab dengan penyalahguna narkotika.
Selain mengungkap kasus narkotika, Hoegeng juga membuat aturan wajib menggunakan helm bagi pengendara sepeda motor dan pembonceng duduk mengangkang (Majalah Tempo, 14/08/2021) Hoegeng juga mendidik keluarganya untuk tidak menggunakan jabatannya sebagai Kapolri untuk mengambil keuntungan.
Menurut Hoegeng, anaknya tidak berhak menyuruh atau memerintah ajudannya. Hoegeng tidak mau keluarga ikut campur dalam urusan pekerjaan, apalagi menikmati fasilitas pejabat. Hoegeng memiliki komitmen yang kuat, tidak terlepas dari didikan keluarga, dukungan istri, putra dan putrinya serta orang tuanya (Chryshnanda DL, 2024), serta mewarisi sifat orangtuanya dalam hal kejujuran. Hoegeng menolak jabatan Duta Besar di Belgia dan memilih mengundurkan diri dari Jabatan Kapolri pada 2 Oktober 1971.
Setelah purnatugas, Hoegeng hidup sederhana dengan gaji Rp 10 ribu rupiah setiap bulan. Ia mengisi masa pensiun dengan melukis dan bermusik. Hoegeng meninggal dunia pada 14 Juli 2004. Sebelum meninggal, Hoegeng menolak dikuburkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan, dan memilih beristirahat di pekuburan Taman Giri Tama di Tonjong, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat (Majalah Tempo, 14/08/2021).
Kasespim Lemdiklat Polri, Irjen. Pol. Prof. Dr. Chryshnanda Dwilaksana, M.Si., menyampaikan terdapat sepuluh Point Hoegeng Iman Santosa sebagai orang baik dan orang penting, yaitu (detikcom, 9/2/2024):
1. Menginspirasi dari pikiran perkataan dan perbuatannya
2. Konsisten dengan komitmennya memegang teguh imannya yang Sentosa
3. Pendidikan dalam keluarga, sekolah dan lingkungan yang membentuk karakternya
4. Pecinta seni Lukis, musik, public speaking
5. Mencintai dan bangga sebagai polisi, pelopor di bidang road safety, petugas profesional dalam reserse maupun intelijen
6. Menjalankan keutamaan sebagai seorang polisi bagi: kemanusiaan, keteraturan sosial, peradaban
7. Sikap dan implementasi anti korupsi dalam hidup dan kehidupannya sebagai polisi maupun di dalam keluarga8. Bekerja dengan sikap tulus, jujur, baik dan benar
8. Tegar dengan sikapnya yang didukung oleh keluarganya walau lingkungan menggerus dan memberi tekanan berat sekalipun
9. Tetap bersahaja walau dipensiun-dinikan pada usia 49 tahun
Dalam Resilient Leader Podcast: Pitutur Hoegeng Bertutur tanggal 9 Februari 2024 di Pasar Seni Ancol, Chryshnanda menyampaikan bahwa spiritualitas dan keteladanan Hoegeng masih sangat relevan sampai saat ini, khususnya inisiatif antikorupsi, kesederhanaan dan keutamaan menjadi seorang polisi. Pikiran, perkataan dan perbuatan Hoegeng menunjukkan suatu kecintaan dan kebanggaan anak bangsa sebagai seorang polisi.
Pada acara yang dimoderatori Jean Calvijn Simanjuntak tersebut, Chryshnanda mengatakan bahwa Hoegeng bukan superman, melainkan orang biasa yang mempunyai integritas, tidak memikirkan pangkat, jabatan, kekayaan atau memperkaya diri. Dia menjalankan jabatannya dengan kejujuran dan ketulusan.
Banyak hal yang dapat dipetik dan diimplementasikan dalam kehidupan masa kini dari teladan Hoegeng sebagaimana disampaikan di atas, terutama moralitas yang di dalamnya ada integritas dan karakter yang kuat, anti korupsi, kolusi, dan nepostime. Dari Hoegeng juga kita belajar tentang cinta tanah air, menjalankan tugas dengan kejujuran, ketulusan serta penuh pengorbanan.
Hal yang tidak kalah penting adalah pelaksanaan tugas yang dilakukan dengan kejujuran perlu didukung keluarga, baik istri/suami, anak-anak, maupun orang tua. Hoegeng mengajarkan kepada kita agar berani mendidik dan membawa keluarga untuk hidup sederhana, mencukupkan diri dengan apa yang dimiliki, serta tidak mencari kekayaan dengan menghalalkan segala cara. Dari Hoegeng juga kita belajar untuk berani menolak setiap gratifikasi dalam bentuk apapun, tidak menyalahgunakan kewenangan dan jabatan.
Akhirnya, dalam hal memimpin, Hoegeng memberi teladan yang sangat penting, yaitu leaderhsip yang melayani dan merakyat dengan turun langsung ke masyarakat, sebagaimana ditunjukkan ketika secara langsung turun menyamar dalam mengungkap kasus narkotika dan mengatur lalu lintas serta sosialisasi penggunaan helm bagi pengendara motor.
Jean Calvijn Simanjuntak. Serdik Sespimti Dikreg ke-33 TA 2024
Leave a Comment